Laman

puber kedua

Puber kedua, sebenarnya ada, atau mengada-ada sih?


Kalau puber pertama adalah saat-saat peralihan seorang anak memasuki masa dewasa, alias masa remaja, maka puber kedua adalah usia peralihan dari dewasa menuju ke tua. Eeh, jangan bilang tua napa? Ada beberapa orang yang sensitive dengan pilihan kata Tua. Jadi diganti apa dong? Matang? Apanya yang matang? Bukannya dewasa juga sudah disebut matang? Atau diganti dengan sepuh? Halah, emangnya emas tipuan, pake disepuh segala. Kita kan tidak sedang membahas tentang istilah tua ini kan? Jadi gimana kalau istilah ini kita abaikan dulu?


Puber pertama adalah masa-masa yang ditunggu oleh seorang anak ABG, dimana hormone-hormon yang aneh bin ajaib itu sudah mulai diproduksi dan mengalir dalam darah remaja mereka. Apa akibatnya? Yang awalnya anak laki-laki yang cute dan lucu, beranjak menjadi remaja pria yang mulai numbuh kumis, suaranya membesar seperti laki-laki dewasa, malu-malu tapi deg-degan kalau melhat temen-temennya yang cantik, mulai mengintip buku dan majalah-majalah yang “terbuka”. Bukan kemasan majalahnya, tapi terbuka pakaian para model di dalamnya. Kalau anak perempuan, maka hormon-homon tersebut mengakibatkan tubuhnya berubah bentuk, yang bagi kaum laki-laki dikategorikan ‘menggoda’. Jadi secara medis, perubahan hormone pada anak-anak ABG menyebabkan berubahnya perilaku anak-anak itu. Dan puber pertama ini menimpa anak perempuan dan anak laki-laki.


Naah, sekarang apa yang terjadi dengan puber kedua? Apakah para ahli medis juga menemukan perubahan hormone di dalam tubuh para bapak & ibu di usia 40-an mereka? Lalu kenapa seolah yang terjangkit “penyakit” puber kedua ini kesannya hanya para Bapak, dan para ibu terbebas dari serangan maupun gejalanya? Saya pernah baca ulasan seorang psikolog yang mengatakan, bahwa puber kedua sebenarnya tidak jelas ada atau tidaknya. Puber kedua ini seperti masuk angin dalam dunia kedokteran. Ada gejalanya, tapi tidak bisa didefinisikan. Masuk angin adalah kepala yang pusing, meriang, perut sebah, mual-mual, badan pegal-pegal, dan sebagainya. Tapia apa nama dan definisinya? Akhirnya Cuma disebut sama pak dokter : Kecapekan….


Puber kedua juga disebut Middle Crisis, atau krisis paruh baya. Kenapa krisis? Di satu sisi, kondisi seseorang (laki-laki) pada usia 40-an adalah mapan secara karier yang langsung berimbas pada kemapanan ekonomi, anak-anak sudah mulai besar dan punya aktivitas sendiri, keluarga juga sudah jelas arahnya kea rah mana, interaksi dengan istri juga sudah mulai tahu selah-selahnya. Dan (katanya) sebenarnya tidak ada susunan hormone yang berubah pada tubuh para laki-laki di kisaran usia ini. Lalu kenapa disebut krisis? Karena pada usia ini seorang laki-laki jadi merasa hidupnya tidak menantang lagi. Semua sudah berjalan pada relnya. Dan para lelaki yang pada dasarnay menyukai tantangan, mulailah merasa hidupnya begitu monoton, statis, tidak menantang lagi. Disinilah puber kedua yang beberapa diantara teman-teman ibu-ibu saya mulai mengeluhkannya. Eng-in-eeeeeeennngg…….

Ibarat anak remaja yang sedang mencari identitas diri, maka para Bapak yang terserang penyakit Puber Kedua ini sebenarnyalah mereka sedang mencari pembuktian diri. Apa iya, mereka masih ganteng, masih “laku” dipasaran, masih perkasa, seperti waktu mereka muda dulu. Keukeuh, saya sebut “penyakit”, karena memang tidak semua laki-laki paruh baya, terutama dengan tingkat ekonomi yang mapan, terserang gejala ini. Ada juga para bapak kenalan saya yang masih kalem dan anteng-anteng saja melihat yang bening-bening berseliweran di sekitar mereka. Entah memang anteng beneran dari sononya atau anteng karena tidak ada angin yang bertiup di sekitarnya. Baling-baling kaleee. Jadi, laki-laki dewasa dengan “daya tahan” tubuh (dan mental) yang baik, tidak akan terserang penyakit ini. Sama dengan penyakit kaaan? Jadi para bapak, anda tidak boleh menyalahkan kondisi hormone seperti pada anak laki-laki anda, kalau tiba-tiba anda menjadi ganjen, suka dandan, pengen selalu tampil rapid an wangi, ramah pada semua orang, terutama para mbak-mbak cantik yang pasti terasa lebih “layak tayang” dibanding istri antik yang menunggu anda di rumah.


Bagaimana dengan perempuan? Jangan salah, justru sebenarnya hormon-hormon para ibu ini juga sedang bergejolak mencari titik keseimbangan baru. Cuma, mungkin karena memang pada dasarnya para wanita, terutama wanita di Indonesia yang sejak kecil selalu di ajarkan dan ditekankan untuk menahan diri, disamping ranah eksplorasi para ibu yang kebanyakan di area rumah dan sekitarnya, maka gejala penyakit puber kedua ini tidak begitu terasa. Tepatnya tidak terdeteksi orang lain. Tetapi beberapa kenalan yang menjadi “korban” wawancara saya juga menyatakan kalau mereka mulai merasa kesepian, karena anak-anak yang biasanya menjadi focus perhatian mereka selama belasan tahun, sekarang sudah mempunyai aktivitas sendiri, sibuk dengan teman-teman sebayanya, padahal suami juga asyik dengan karier dan aktivitasnya di luar rumah. Masih mending kalau para ibu ini juga mempunyai aktivitas di luar rumah, mempunyai hobby, atau pekerjaan, maka rasa kehilangan tadi sedikit bisa teralihkan. Bahkan sekedar aktivitas social yang tidak menghasilkan uang pun sudah cukup membantu.

Wah, susah ya. Bagaimana pula kalau suami-istri yang terserang gejala penyakit puber kedua ini secara bersamaan dan dua-duanya sama-sama tidak bisa mengendalikan diri. Wah, begini ini yang menyebabkan perang dunia bisa berlangsung di rumah siapa saja. Jangan dong ya. Lalu bagaimana mengatasinya? Kalau memang para bapak membutuhkan ranah eksplorasi yang baru, bagaimana kalau energy itu dialihkan untuk membuat aktivitas baru yang lebih positif. Misalnya, pindah kerja ke tempat baru, mulai berwiraswasta yang pasti sangat membutuhkan perhatian dan tingkat keberanian yang tak kalah tinggi? Dan kalau selama ini anda hanya bekerjasama dengan para istri anda dalam hal mengadakan dan mengasuh anak-anak, bagaimana kalau sekarang kerjasama nya dialihkan dalam hal-hal baru? Atau kalau memang keberanian anda tidak setinggi itu, bagaimana kalau mulai membuat kegiatan baru yang berbeda? Menulis buku dan membagi pengalaman anda, berkebun, membuat tempat pemancingan, mengelola rumah jompo atau yatim piatu, membuat sebuah proyek padat karya yang mengerahkan para penganggur di sekitar anda, aktif dalam kegiatan social di RT/RW dan lingkungan tempat tinggal anda. Banyak lagi aktivitas lainnya. Kalau yang saya sebutkan diatas kurang banyak, anda boleh menghubungi saya untuk alternative lainnya. He..he.. sombong banget, serasa jadi bank ide.


Dan ada tips khusus yang saya dapat dari seseorang yang tidak mau saya sebutkan disini. Kayaknya tipsnya cukup keren juga. Katanya, untuk menghindari “perang dunia” di rumah gara-gara penyakit puber kedua ini, bagaimana kalau kehidupan suami-istri itu dibuat sedemikian dinamis sehingga tidak monoton bagi keduanya. Dinamis artinya selalu punya cara yang baru untuk membuat hubungan selalu segar. Bepergian berdua ke luar kota tanpa rencana, dan rasakan ketegangannya, misalnya. Atau jangan membuat keputusan yang selalu bisa diramalkan. Kalau biasanya anda marah ketika suami anda membuat kesalahan, bagaimana kalau sekali waktu anda tertawa saja menyikapinya. Ha..ha.. ya susah to ya. Atau setel diri menjadi agak misterius bagi suami anda, tanpa perlu anda menjadi sundel bolong.


Atau untuk anda yang sudah melalui tahapan ini, atau pernah punya pengalaman dari pengamatan pada orang lain di sekitar anda punya tips jitu yang lain? Jangan sungkan untuk membaginya disini. Kali ini, saya yang membutuhkan bank ide anda, biar nanti kalau saya pada tahapan itu saya bisa melaluinya dengan smooth…. Plis…

1 komentar:

  1. Ingin tampil cantik menarik? Solusi batiniah dg amalan doa2 khusus: 0815 6766 2467

    BalasHapus